BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya,
pemikiran-pemikiran yang muncul dari banyak tokoh/pemikir mengenai suatu hal yang
berkaitan dengan sejarah sosial dalam pemikiran hukum islam adalah hasil dari
interaksi tokoh tersebut dengan lingkungan sosio-kultural atau
sosio-politiknya. Oleh karena itu, jika kita amati banyak hasil pemikiran
seseorang yang tergantung pada lingkungan sekitarnya. Hal ini memperkuat
alasannya dengan menunjuk kepada kenyataan sejarah bahwa produk-produk
pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih
dari hasil interpretasi tersebut.
Atho Mudzar mengatakan
bahwa hal ini penting, sedikitnya karena dua hal. Pertama, untuk meletakkan
produk pemikiran hukum Islam itu pada tempat seharusnya. Kedua, untuk memberikan
tambahan keberanian kepada pemikir hukum Islam sekarang untuk tidak ragu-ragu
bila merasa perlu melakukan perubahan terhadap suatu produk pemikiran hukum.
Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam di berbagai penjuru dunia telah
melakukanya tanpa sedikitpun merasa keluar dari hukum Islam.
Abu Ubaid merupakan
salah seorang ahli ekonomi islam yang telah merumuskan banyak hal tentang
kaidah-kaidah ekonomi islam dalam karya-karyanya. Diantaranya adalah Kitab Al-Amwal.Kitab al-Amwal dihasilkan
sebagai gabungan dari isi buku-buku dari Kitab al-Kharaj dan Kitab
al-Sadaqah (zakat). Kitab ini sering kali dijadikan rujukan
dalam menganalisis masalah ekonomi, terutama tentang keuangan publik.
Di sini saya mencoba
untuk menganalisis sebuah produk hukum Islam yaitu Kitab Al Amwalkarya
Abu Ubaid. Kitab ini menjadi pilihan karena secara substansi berisi pemikiran
hukum Islam dari masa klasik, sesuai dengan adanya pembidangan di atas maka
Kitab ini dapat dikatakan sebagai rujukan dalam pembentukan "Fiqh
ekonomi". Hal ini karena pemikiran Abu Ubaid didasarkan atas
sumber-sumber otentik berupa al-Qur'an dan Hadist untuk kemudian dapat
dimaknai dalam pembentukan pranata sosial berupa pengembangan
institusi ekonomi yang sangat dibutuhkan manusia pada saat ini.
Selain itu, tulisan
ini juga menggunakan berbagai sumber terkait dalam melakukan analisi guna
mendapatkan pernyataan terbaik dalam hukum ekonomi islam. Tentu saja dalam
tulisan ini akan digunakan pendekatan sejarah sosial hukum Islam Abu Ubaid,
Biografi, Latar Belakang dan Pendekatannya, serta yang paling penting adalah
pemikiran-pemikiran dari Abu Ubaid terkait hukum ekonomi islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Abu Ubaid
Abu Ubaid merupakan
seorang ahli hukum, ahli ekonomi Islam, ahli hadits dan ahli bahasa Arab (ahli
nahwu). Abu Ubaid, yang bernama lengkap al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid
al-Harawi al-Azadi al-Baghdadi, lahir di Bahrah, propinsi Khurasan, sebelah
barat laut Afganistan, pada tahun 154 Hijriah. Ayahnya keturunan Byzantium yang
menjadi makula suku Azad.
Setelah memperoleh
ilmu yang memadai di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi
berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah dan
Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa
Arab, qiraat, tafsir, hadits, dan fiqih (di mana tidak dalam
satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran).
Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qawaid, Fiqh,
Syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal.
Kitab al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang
keuangan negara dalam Islam.
Pada tahun 192 H,
Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur di masa pemerintahan Khalifah Harun
Al-Rashid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi (hakim) di Tarsus
hingga tahun 210 H. Setelah itu, Abu Ubaid tinggal di Baghdad selama 10 tahun.
Pada tahun 219 H, setelah berhaji, ia menetap di Makkah sampai wafatnya. Ia
meninggal pada tahun 224 H.
B. Latar Belakang Kehidupan dan Pendekatannya
Dari beberapa
literatur yang ada mengatakan bahwa Abu Ubaid hidup semasa Daulah Abbasiyah
mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi,
masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di
bidang ekonomi adalah, Abu Ubaid (w.224/834 H), Imam Ahmad bin Hambal (164-241
M/780-855 M) serta Harist bi Asad al Muhasibi (165-243 11/781-857 M).
Gottschalk (Adiwarman,
2004) menyebutkan bahwa dari segi latar belakang kehidupannya, Abu Ubaid
merupakan seorang ahli hadits (muhaddits) dan ahli fiqih (fuqaha)
terkemuka di masa kehidupannya. Selama menjabat qadi di Tarsus, ia sering
menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya
dengan sangat baik. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari
bahasa Parsi ke bahasa Arab juga menunjukkan bahwa Abu Ubaid sedikit-banyak
menguasai bahasa tersebut. Menurut Gottschalk, pemikiran Abu Ubaid ada
kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abu Amr Abdurrahman Ibn Amr al
Azwa'i, karena seringnya pengutipan kata-kata Amr dalam al-Amwal,
serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syariah lainnya selama ia menjadi
pejabat di Tarsus.
Adiwarman (2004)
menyebutkan bahwa Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan muslim
terkemuka pada awal abad ketiga Hijriyah (abad kesembilan Masehi) yang
menetapkan revitalisasi system perekonomian berdasarkan Al-Quran dan Hadits
melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan institusinya. Dengan kata
lain, umpan-balik dari teori sosio-ekonomi Islami, yang berakar dari ajaran
Al-Quran dan Hadits, mendapatkan tempat yang eksklusif serta diekspresikan
dengan kuat dalam pola pemikiran Abu Ubaid.
Dalam pandangan ulama
lainnya, seperti Qudamah Assarkhasy mengatakan bahwa Abu Ubaid yang paling
pintar bahasa Arab (ahli Nahwu). Sedangkan menurut Ibnu Rohubah, "Kita
memerlukan orang seperti Abu Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita".
Dalam pandangan Ahmad bin Hambal, Abu Ubaid adalah orang yang bertambah
kebaikannya setiap harinya. Menurut Abu Bakar bin Al-¬Anbari, Abu Ubaid membagi
malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3
nya untuk mengarang. Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya
dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut lshaq, Abu Ubaid itu yang
terpandai diantara aku. Dari pendapat-pendapat tersebut terlihat bahwa Abu
Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di antara para
ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan para Imam besar sekaliber Syafi'i
dan Ahmad bin Hambal. Kesejajarannya ini membuat Abu Ubaid menjadi seorang
mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab tertentu.
Awal pemikirannya
dalam Kitab al-Amwal dapat ditelusuri dari pengamatan yang
dilakukan Abu Ubaid terhadap militer, politik dan masalah fiskal yang dihadapi
administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada masanya.
Berbeda dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan
sistemik dan penanggulangannya. Namun, Kitab al-Amwal dapat
dikatakan lebih kaya dariKitab al-kharaj dari sisi kelengkapan
hadis serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi
asli) dari para sahabat, tabi 'in dan tabi' at-tabi’in. Abu Ubaid tampaknya
lebih menekankan standar politik etis penguasa (rezim) daripada membicarakan
syarat-syarat etisiensi teknis dan manajerial penguasa. Filosof Abu Ubaid lebih
kepada pendekatan teknis dan profesional berdasarkan aspek etika daripada
penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan pendekatan praktis.
Dengan tidak
menyimpang dari tujuan keadilan dan keberadaban, yang lebih membutuhkan
rekayasa sosial, Abu Ubaid lebih mementingkan aspek rasio/nalar dan spiritual
Islam yang berasal dari pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan
manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai individu maupun masyarakat. Atas
dasar itu Abu Ubaid menjadi salah seorang pemuka dari nilai-nilai tradisional,
pada abad III hijriah/abad IX M, yang berpendapat bahwa revitalisasi dari
sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan
keuangan serta institusinya dengan berdasarkan al-Qur’an dan Hadist. Dengan
kata lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum
berasal dari sumber-sumber yang suci, al-Qur’an dan Hadist mendapatkan tempat
eksklusif serta terekspresikan dengan kuat pada pemikirannya.
Meskipun fakta
menunjukkan bahwa Abu Ubaid adalah seorang ahli fikih yang independen, moderat,
dan handal dalam berbagai bidang keilmuan membuat beberapa ulama Syafi'i dan
Hambali mengklaim bahwa Abu Ubaid adalah berasal dari kelompok madzhab
mereka. Tetapi dalam Kitab al-Amwal tidak ada disebut nama Abu Abdullah
Muhammad ibn Idris asy-Syafi'i maupun nama Ahmad Ibn Hambal, melainkan ia
sangat sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar
ulama madzhab Syafi'i lainnya. Ia juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah,
Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.
Sementara itu, tuduhan
yang dilontarkan oleh Husain ibn Ali al Karabisi seperti yang dikemukakan oleh
Hasan ibn Rahman ar-Ramharmudzi bahwa Abu Ubaid melakukan plagiat terhadap
Kitab fikih karyanya dari pandangan dan persetujuan asy-Syafi'i, adalah sangat
sulit untuk dibuktikan kebenarannya, hal itu bukan hanya karena Abu Ubaid dan
asy-Syafi’i belajar dari sumber yang sama tetapi mereka juga belajar satu sama
lainnya, sehingga tidak mustahil jika terdapat kesamaan atau hubungan dalam
pandangan-pandangan mereka. Bahkan, kadang kala Abu Ubaid mengambil posisi yang berseberangan dengan
asy-Syafi'i tanpa menyebut nama.
•Kitab Al-amwal.
Kitab
al Amwal merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid
yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum
administrasi dan hukum internasional. Kitab Al-Amwal secara komprehensif
membahas tentang sistem keuangan publik islam terutama pada bidang administrasi
pemerintahan. Buku ini juga memuat sejarah ekonomi Islam selama dua abad
pertama hijriyah, dan merupakan sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi,
para sahabat dan para pengikutnya mengenai permasalahan ekonomi. Abu ubaid,
dalam Kitab al-Amwal, banyak mengutip pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam
dan ulama terdahulu. Ia sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan
sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya, dan juga mengutip beberapa
ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al¬ Hasan asy-Syaibani.
Beberorang
meyakini bahwa Adam Smith dalam bukunya yang legendaris, The Wealth of Nations,
banyak dipengaruhi kitab Al-Amwal. Arti kata Al-amwal sama dengan arti kata The
Wealth, yaitu kekayaan. Dalam Pembahasan Ekonomi Neoliberal dihadapan 1.000
kiai di Pesantren Asshiddiqiyah, Kedoya, Jakarta Barat, Sabtu (13/6), yang
disampaikan Dr Adiwarman Karim dan sejumlah ekonom lain serta Ketua MUI Pusat
KH Maruf Amin, dinyatakan bahwa The Wealth of Nation karya Adam smith banyak
menyinggung tentang ekonomi Islam, antara lain pada jilid dua dan jilid lima.
Imam
Abu Ubaid dalam kitab berjudul Al Amwal memberikan definisi tentang Sistem Keuangan
Publik Islam, yaitu sebagai sunuf al-amwal al-lati yaliha al-a’immah li
al-raiyyah (sejumlah kekayaan yang dikelola pemerintah untuk kepentingan
subjek). Yang dimaksud subjek di sini adalah rakyat. Dalam definisi ini
terdapat empat konsep penting, yaitu :
1.
istilah amwal,
yang menjadi judul buku mengacu kepada kekayaan publik,yang merupakan sumber
keuangan utama negara, dikelompokkan menjadi fay, khums, dan zakat.
Fay yang dimaksud adalah yang termasuk kharaj, jizyah dan penerimaan lainnya seperti, penemuan barang-barang yang hilang (rikaz) kekayaan yang ditinggalkan tanpa ahli waris, dan lain-lain.
Khums adalah seperlima dari hasil rampasan perang dan harta karun atau harta peninggalan tanpa pemilik.
Fay yang dimaksud adalah yang termasuk kharaj, jizyah dan penerimaan lainnya seperti, penemuan barang-barang yang hilang (rikaz) kekayaan yang ditinggalkan tanpa ahli waris, dan lain-lain.
Khums adalah seperlima dari hasil rampasan perang dan harta karun atau harta peninggalan tanpa pemilik.
2.
A’immah mengacu kepada otoritas publik yang diberi kepercayaan
untuk mengelola wilayah kekayaan publik.
3.
Wilayah mengisyaratkan bahwa kekayaan itu tidak dimiliki
otoritas, tetapi merupakan kepercayaan demi kepentingan publik.
4.
Istilah ra’iyyah mengacu
pada publik umum yang terdiri atas subjek muslim dan non muslim dalam
administrasi Islam, yang mana kepada mereka manfaat harta itu didistribusikan.
Dalam
permasalahan zakat, Abu Ubaid berpendapat bahwa ada tiga tingkatan
pengelompokan sosio ekonomi yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan
kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat
tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Ia
juga tidak menyetujui penentuan batas tertinggi penerimaan zakat bagi para
mustahik. Ia menjelaskan bahwa dalam segi politik, kekayaan seseorang di bagi
menjadi dua, yaitu kekayaan yang tampak (amwal zahiriyah) dan kekayaan yang
tidak tampak (amwal batiniyah). Menurutnya, pemerintah memiliki kekuatan
politik hanya pada kekayaan yang tampak (amwal zahiriyah). Sebaliknya, harta
yang tesembunyi (amwal batiniyah), pemerintah tidak memiliki hak politik untuk
memaksa orang membayar zakat dari jenis kekayaan ini. berkebalikan dengan harta
yang tampak, yang masuk dalam wilayah zakat berkarakter politis, harta
tersembunyi masuk dalam wilayah zakat berkarakter religius.
Menurut
Abu Ubaid, penarikan dan penyaluran zakat dilakukan oleh wilayah di mana
masyarakat berada. Jadi, Penarikan zakat yang dilakukan pada suatu komunitas
masyarakat tertentu, berarti penyalurannya dilakukan juga pada komunitas
masyarakat di mana zakat tersebut diambil. Seperti halnya Mu’az yang mengambil
zakat dari penduduk Yaman (yang mampu), kemudian menyalurkannya kembali kepada
penduduk Yaman (yang berhak). Dengan pola distribusi yang menjadikan daerah penarikan
sekaligus sebagai daerah penyaluran dapat memberikan pengaruh yang sangat besar
dalam menjaga dan menumbuhkan ukhuwah dan solidaritas sosial dalam sebuah
komunitis masyarakat. Mengenai Hal ini menuturkan dengan kisah yang dialami
imam terdahulu, yaitu:
Al-Amwal hal. 596:
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya dan berkata, Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga. Muadz menjawab, “Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu.
Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata, Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut.(Al-Qaradhawi, 1995).
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya dan berkata, Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga. Muadz menjawab, “Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu.
Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata, Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut.(Al-Qaradhawi, 1995).
Al-Amwal hal.256:
Khalifah Umar Abdul mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di propinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata, Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka tetapi di Baitul Mal masih terdapat banyak uang. Umar memerintahkan, Carilah orang yang dililit utang tapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya. Abdul Hamid kembali menyurati Umar, Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang. Umar memerintahkan lagi, “Kalau ada orang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya. Abdul Hamid sekali lagi menyurati Umar,Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah tetapi di Baitul Mal ternyata masih juga banyak uang. Akhirnya, Umar memberi pengarahan,Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah pinjaman kepada mereka agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih. (Al-Qaradhawi, 1995).
Khalifah Umar Abdul mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di propinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata, Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka tetapi di Baitul Mal masih terdapat banyak uang. Umar memerintahkan, Carilah orang yang dililit utang tapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya. Abdul Hamid kembali menyurati Umar, Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang. Umar memerintahkan lagi, “Kalau ada orang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya. Abdul Hamid sekali lagi menyurati Umar,Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah tetapi di Baitul Mal ternyata masih juga banyak uang. Akhirnya, Umar memberi pengarahan,Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah pinjaman kepada mereka agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih. (Al-Qaradhawi, 1995).